Friday 14 December 2012

Cewek-cewek Pelpek #3 Mengapa Mikong Sipit?



Jam istirahat adalah waktu yang harus diwaspadai oleh setiap orang yang melintas di depan kelas dua cewek endemik ini. Dan dua orang yang tidak menghiraukan imbauan ini akan mendapatkan ganjaran yang seimbang. Mereka adalah Naca dan Cikong. Naca itu bukan keturunan dari generasi terakhir suku Inca, tapi entah mengapa kepalanya simetris serupa persegi empat. Eya pun sering bertanya-tanya, mengapa mood Tuhan begitu buruk saat menciptakan orang ini?
“I donno, yu kasino” sahut Eno.
“Khihihi…”
Ngerasa diketawain, Anca berbalik. Menghentikan langkahnya dan mencari-cari sumber cekikian yang menjatuhkan harkat dan martabat sukunya.
“Ngapain ketawain aku?”
“Nggak,”
“Cari ribut?”
“Nggak, hula…hula…” Eya ngebantah lagi. Anca pun pergi, menghindari mereka berdua sambil garuk-garuk pantat.
“Nggak salah lagi maksudku…” mereka berdua cekikikan lagi.
Tiba-tiba Mikong[1], keluaran terakhir dari buangan orang tionghoa di Makassar, ini menurut sumber yang keakuratannya nol koma nol sekian. Berdasarkan penelitian terbaru, dia adalah anak bugis asli yang mungkin saat dalam kandungan, bokapnya jail nusuk-nusuk perut nyokapnya hingga berdampak pada bentuk kedua matanya. Sipit, tak berkelopak. Eno selalu kasihan pada kondisinya itu dan ingin mengganjal kelopak mata bawah dan atasnya dengan lidi atau tongkat lolipop.
“Itu mata apa lubang kancing?” tanya Eno
“Lubang semut,” timpal Eya.
“Tapi kok mirip lubang e’ek?”
Syuuutt…mungkin kelilipan, Mikong terjatuh. Ia terpeleset tepat di depan kedua cewek pengamat ciptaan Tuhan ini.
“Cup…cup…cup kasian. Sini saya bantu,” Eya menawarkan diri. Mikong yang sedang jomblo tulen itu menyambut sumringah, “Bo, boleh,”
“Mau dipapah sampe mana?”
“Kelas, dong!”
“Noo…lolipopnya udah abis belon, siniin tongkatnya!”

OOOO

Hari itu langit sedang cerah. Awan-awan menyebar di lapisan langit dan melengkapi indahnya pagi di atas gedung sekolah menengah atas yang tidak terkenal itu. Ada sekumpulan ulat bulu di atas daun pohon ketapang. Perlahan mereka menjadi kepompong, lalu pada suatu hari kepompong itu terbuka. Keluarlah kupu-kupu yang indah bak dewi hewan[2]. Kupu-kupu itu terbang, berkeliling dengan riangnya di lapangan sekolah. Tiba-tiba ada yang nyentil upil, upil itu ketelan sama si kupu-kupu, sang kupu-kupu indah pun mati. Inilah akhir cerita Kupu-kupu Malam. Maap, tadi adenya temenku punya temen punya sepupu minta diceritain sesuatu, nggak nyadar ikut diketik juga.
Oke, akuh lanjutin.
Seperti biasa, Eno menunggu teman pas-pasannya di depan pos satpam sekolah. Dan ia tak mengenali kawan senasib-sependeritaannya yang datang dan langsung mematung di gerbang sekolah.
“Wuah….pak itu anak baru ya?” tanya Eno kepada pak satpam bergigi jarang-jarang itu. Jarang disikat, jarang diperiksa ke dokter gigi.
“Nda tau saya. Mungkin…eh, dia tersenyum ke arah sini,” si satpam langsung ngerapiin rambut. Eno nyaranin buat ngerapiin gigi juga.
“Belum tersedia sisir gigi, mbok”
“Ada, tuh serokan got,”
“Tega,”
“Eh, tapi itu anak kok senyum-senyum kemari terus sih?”
Eno pun memperhatikan miniatur manusia yang tengah berdiri malu-malu serigala di samping gerbang sekolahnya yang tinggi menjulang bak raksasa timun mas itu. Dari bawah ke atas, jelas sekali bahwa matanya sudah familiar akan barang-barang yang dikenakan si cewek. Sepatu kepanjangan, rok kebesaran, seragam kelonggaran, dan tas jelek bertambal.
“EYA, DIKAUKAH ITU?”
Eno histeris setelah tahu bahwa itu adalah sobat encernya. Sang tercuriga berjalan cepat menghampirinya,
“Eits, jangan teriak kayak tikus keinjak kucing berspatu buts dong. Aku lagi nyamar, kemarin ada anak punk yang ngincer pin di tas bututku,”
“Pin tua karatan kayak gitu mana ada yang minat. Lagian mestinya yang disembunyiin pin kamu, bukan mata kamu yang rada sipit itu.”
“Kamu tenang aja. Kamu tahu kenapa agen CIA selalu berhasil saat menyamar?”
Eno menggeleng.
“Sama aku juga nggak tau,”
“Akh, bego.”
Sebenarnya, ini pun setelah saya sebagai penulis mewawancarai Eno secara ekslusif di sebuah tempat yang disebut-sebut sebagai negeri seberang pelangi. Bahwa penyamaran yang dimaksudkan Eya hanya alasan belaka yang nggak ada sangkut paut sama alasan yang sebenarnya. Eya itu menderita rabun jauh tambah rabun ayam tambah rabun buaya, jadi mulai senin ini dia mengenakan kacamata cukup tebal. Dan itu berhasil memperburuk penampilannya.
Berniat melawak di pagi hari, Juned, teman sekelas mereka terobsesi menjadi pembawa acara terkenal. Mencoba memperkenalkan artis baru mereka.
“Ledis and jungelman, hir is Eya…beti lapea baru kita. Beri dia uu…”
“Uu…”
“Beri dia ikh..jijik..”
“Uek…uek…”
“Beri dia uang…”
“Enak aja, cari n’diri!”
Sejak hari pertama masuk di kelas dua, Eya ditempatkan di strata para siswa nyaris teladan, merupakan lapisan kedua dalam sistem kasta di kelasnya. Pada kasta ini juga ada Eno, Didot, Cipunk, Cute, Meta dan Nyonrik. Sementara di kasta siswa teladan hanya dihuni Nara, Cipha, Faril, dan Rojak sebagai siswa yang tidak pernah memperoleh nilai buruk dan mengabaikan tugas-tugas. Populasi terbanyak adalah kasta ketiga yang isinya orang-orang yang bersekolah hanya untuk memperoleh ijazah. Kasta terakhir adalah orang-orang aikyu nungging tapi dikasihanin sama negara.
Fenomena kacamata itu nyaris menjatuhkan diri Eya ke jajaran orang-orang di kasta keempat. Pasalnya memang karena terlalu idiot sampai nonton televisi udah kayak hirup napas, membuat penghuninya rata-rata menggunakan kacamata tebal. Ada yang bilang kalo kacamata mereka digabungin bisa buat liat kuman bikin anak.
“Enak aja, soal otak kita boleh diadu sama empat orang teratas itu. Masa’ aku yang peringkat kelima di kelas kayak gini dibilang idiot. Diskriminasi itu namanya,” mulut Eya mulai menyusul mancung idungnya.
“Diskriminasi pembuat kekecewaan yang akhirnya bikin kita sekelas bisa nggak saling mengerti. Ini bahaya,” Eno membela kawannya pada forum kelas hari itu.
“Kawan-kawan, kalo ada cara lain untuk menyehatkan mata Eya, nggak bakalan kayak gini jadinya,” tambah Cute.
“Gimana kalo matanya disuntik,” celutuk Enta, one of the Jongkok Aikyuers. Lima anak lain setuju, mereka juga J.A
Eya ngebayangin matanya disuntik. Dalam ruangan gelap dan sempit, dokter itu memasukkan obat ke dalam suntik. Suntiknya macet, terpaksa diganti sama suntikan tinta printer. Matanya jadi disuntik, jarumnya ketinggalan di mata.
OUH, NOO…

“Lagipula, aturan kasta kayak gitu buatan kita-kita aja. UU pemerintah aja bisa fleksibel kayak permen karet apalagi kita yang pemikirannya masih sebatas kotoran kuku,” nggak disangka, tiba-tiba Juned mengeluarkan kalimat ini. Faril yang emang jenius nggak nyangka kalo upil diberi nyawa kayak Juned bisa ngomong segitu intelek. Dengan sigap dan meminta imbalan, ia langsung mempromosikan teman duduknya untuk naik kasta.
“Hayoo…seribu pertama…waktu anda tinggal saat ini. Susunlah kata teracak di samping lalu menangkan sepeda motornya Satria Baja Hitam,”




[1] Nama ini plesetan dari sungai Mekong. Kata bapaknya, saat lahir muka Mikong mirip ikan penunggu sungai itu. Apakah ini berarti bapaknya telah bersekutu dengan siluman? Ataukah mereka saling menjalin cinta? Jangan ngegosip akh…
[2] Emang ada?

0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger