Jam istirahat adalah
waktu yang harus diwaspadai oleh setiap orang yang melintas di depan kelas dua
cewek endemik ini. Dan dua orang yang tidak menghiraukan imbauan ini akan
mendapatkan ganjaran yang seimbang. Mereka adalah Naca dan Cikong. Naca itu
bukan keturunan dari generasi terakhir suku Inca, tapi entah mengapa kepalanya
simetris serupa persegi empat. Eya pun sering bertanya-tanya, mengapa mood Tuhan begitu buruk saat menciptakan
orang ini?
“I donno, yu kasino”
sahut Eno.
“Khihihi…”
Ngerasa diketawain, Anca
berbalik. Menghentikan langkahnya dan mencari-cari sumber cekikian yang
menjatuhkan harkat dan martabat sukunya.
“Ngapain ketawain
aku?”
“Nggak,”
“Cari ribut?”
“Nggak, hula…hula…”
Eya ngebantah lagi. Anca pun pergi, menghindari mereka berdua sambil
garuk-garuk pantat.
“Nggak salah lagi
maksudku…” mereka berdua cekikikan lagi.
Tiba-tiba Mikong[1],
keluaran terakhir dari buangan orang tionghoa di Makassar,
ini menurut sumber yang keakuratannya nol koma nol sekian. Berdasarkan
penelitian terbaru, dia adalah anak bugis asli yang mungkin saat dalam
kandungan, bokapnya jail nusuk-nusuk perut nyokapnya hingga berdampak pada
bentuk kedua matanya. Sipit, tak berkelopak. Eno selalu kasihan pada kondisinya
itu dan ingin mengganjal kelopak mata bawah dan atasnya dengan lidi atau tongkat
lolipop.
“Itu mata apa lubang
kancing?” tanya Eno
“Lubang semut,”
timpal Eya.
“Tapi kok mirip
lubang e’ek?”
Syuuutt…mungkin
kelilipan, Mikong terjatuh. Ia terpeleset tepat di depan kedua cewek pengamat
ciptaan Tuhan ini.
“Cup…cup…cup kasian.
Sini saya bantu,” Eya menawarkan diri. Mikong yang sedang jomblo tulen itu
menyambut sumringah, “Bo, boleh,”
“Mau dipapah sampe
mana?”
“Kelas, dong!”
“Noo…lolipopnya udah
abis belon, siniin tongkatnya!”
OOOO
Hari itu langit
sedang cerah. Awan-awan menyebar di lapisan langit dan melengkapi indahnya pagi
di atas gedung sekolah menengah atas yang tidak terkenal itu. Ada sekumpulan ulat bulu di atas daun pohon
ketapang. Perlahan mereka menjadi kepompong, lalu pada suatu hari kepompong itu
terbuka. Keluarlah kupu-kupu yang indah bak dewi hewan[2].
Kupu-kupu itu terbang, berkeliling dengan riangnya di lapangan sekolah.
Tiba-tiba ada yang nyentil upil, upil itu ketelan sama si kupu-kupu, sang
kupu-kupu indah pun mati. Inilah akhir cerita Kupu-kupu Malam. Maap, tadi
adenya temenku punya temen punya sepupu minta diceritain sesuatu, nggak nyadar
ikut diketik juga.
Oke, akuh lanjutin.
Seperti biasa, Eno
menunggu teman pas-pasannya di depan pos satpam sekolah. Dan ia tak mengenali
kawan senasib-sependeritaannya yang datang dan langsung mematung di gerbang
sekolah.
“Wuah….pak itu anak
baru ya?” tanya Eno kepada pak satpam bergigi jarang-jarang itu. Jarang
disikat, jarang diperiksa ke dokter gigi.
“Nda tau saya.
Mungkin…eh, dia tersenyum ke arah sini,” si satpam langsung ngerapiin rambut.
Eno nyaranin buat ngerapiin gigi juga.
“Belum tersedia
sisir gigi, mbok”
“Ada, tuh serokan got,”
“Tega,”
“Eh, tapi itu anak
kok senyum-senyum kemari terus sih?”
Eno pun memperhatikan miniatur
manusia yang tengah berdiri malu-malu serigala di samping gerbang sekolahnya
yang tinggi menjulang bak raksasa timun mas itu. Dari bawah ke atas, jelas
sekali bahwa matanya sudah familiar akan barang-barang yang dikenakan si cewek.
Sepatu kepanjangan, rok kebesaran, seragam kelonggaran, dan tas jelek
bertambal.
“EYA, DIKAUKAH ITU?”
Eno histeris setelah tahu bahwa
itu adalah sobat encernya. Sang tercuriga berjalan cepat menghampirinya,
“Eits, jangan teriak
kayak tikus keinjak kucing berspatu buts dong. Aku lagi nyamar, kemarin ada
anak punk yang ngincer pin di tas bututku,”
“Pin tua karatan
kayak gitu mana ada yang minat. Lagian mestinya yang disembunyiin pin kamu,
bukan mata kamu yang rada sipit itu.”
“Kamu tenang aja.
Kamu tahu kenapa agen CIA selalu berhasil saat menyamar?”
Eno menggeleng.
“Sama aku juga nggak
tau,”
“Akh, bego.”
Sebenarnya, ini pun
setelah saya sebagai penulis mewawancarai Eno secara ekslusif di sebuah tempat
yang disebut-sebut sebagai negeri seberang pelangi. Bahwa penyamaran yang
dimaksudkan Eya hanya alasan belaka yang nggak ada sangkut paut sama alasan
yang sebenarnya. Eya itu menderita rabun jauh tambah rabun ayam tambah rabun
buaya, jadi mulai senin ini dia mengenakan kacamata cukup tebal. Dan itu berhasil
memperburuk penampilannya.
Berniat melawak di
pagi hari, Juned, teman sekelas mereka terobsesi menjadi pembawa acara terkenal.
Mencoba memperkenalkan artis baru mereka.
“Ledis and jungelman,
hir is Eya…beti lapea baru kita. Beri dia uu…”
“Uu…”
“Beri dia
ikh..jijik..”
“Uek…uek…”
“Beri dia uang…”
“Enak aja, cari
n’diri!”
Sejak hari pertama masuk di
kelas dua, Eya ditempatkan di strata para siswa nyaris teladan, merupakan
lapisan kedua dalam sistem kasta di kelasnya. Pada kasta ini juga ada Eno,
Didot, Cipunk, Cute, Meta dan Nyonrik.
Sementara di kasta siswa teladan hanya dihuni Nara, Cipha, Faril, dan Rojak sebagai siswa
yang tidak pernah memperoleh nilai buruk dan mengabaikan tugas-tugas. Populasi
terbanyak adalah kasta ketiga yang isinya orang-orang yang bersekolah hanya
untuk memperoleh ijazah. Kasta terakhir adalah orang-orang aikyu nungging tapi
dikasihanin sama negara.
Fenomena kacamata
itu nyaris menjatuhkan diri Eya ke jajaran orang-orang di kasta keempat.
Pasalnya memang karena terlalu idiot sampai nonton televisi udah kayak hirup
napas, membuat penghuninya rata-rata menggunakan kacamata tebal. Ada yang bilang kalo
kacamata mereka digabungin bisa buat liat kuman bikin anak.
“Enak aja, soal otak
kita boleh diadu sama empat orang teratas itu. Masa’ aku yang peringkat kelima
di kelas kayak gini dibilang idiot. Diskriminasi itu namanya,” mulut Eya mulai
menyusul mancung idungnya.
“Diskriminasi
pembuat kekecewaan yang akhirnya bikin kita sekelas bisa nggak saling mengerti.
Ini bahaya,” Eno membela kawannya pada forum kelas hari itu.
“Kawan-kawan, kalo
ada cara lain untuk menyehatkan mata Eya, nggak bakalan kayak gini jadinya,”
tambah Cute.
“Gimana kalo matanya
disuntik,” celutuk Enta, one of the
Jongkok Aikyuers. Lima
anak lain setuju, mereka juga J.A
Eya
ngebayangin matanya disuntik. Dalam ruangan gelap dan sempit, dokter itu
memasukkan obat ke dalam suntik. Suntiknya macet, terpaksa diganti sama
suntikan tinta printer. Matanya jadi disuntik, jarumnya ketinggalan di mata.
OUH,
NOO…
“Lagipula, aturan
kasta kayak gitu buatan kita-kita aja. UU pemerintah aja bisa fleksibel kayak
permen karet apalagi kita yang pemikirannya masih sebatas kotoran kuku,” nggak
disangka, tiba-tiba Juned mengeluarkan kalimat ini. Faril yang emang jenius
nggak nyangka kalo upil diberi nyawa kayak Juned bisa ngomong segitu intelek.
Dengan sigap dan meminta imbalan, ia langsung mempromosikan teman duduknya
untuk naik kasta.
“Hayoo…seribu
pertama…waktu anda tinggal saat ini. Susunlah kata teracak di samping lalu
menangkan sepeda motornya Satria Baja Hitam,”
0 komentar:
Post a Comment